Mencaci Maki Orang Tua
Oleh: DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رضي الله عنهما أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: “مِن الكَبَائِرِ: شتم الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ” قِيْلَ: وَهَلْ يَسُبُّ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: “نَعَمْ، يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ الرجل أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ .” مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Dari shahābat ‘Abdullāh bin ‘Amr bin ‘Āsh radhiyallāhu Ta’āla anhumā bahwasanya Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Diantara dosa besar adalah seorang lelaki memaki kedua orang tuanya.” Maka ditanyakan kepada Nabi ﷺ, “Apakah ada seorang mencaci maki kedua orang tuanya?” Rasūlullāh ﷺ bersabda, “Ya ada, seseorang mencaci ayah orang lain, maka orang lain tersebut kembali mencaci ayahnya. Dan (demikian juga) ia mencaci maki ibu orang lain, lalu orang lain tersebut mencaci ibunya pula.” (HR. Bukhāri dan Muslim)
Pembaca yang dirahmati Allāh ﷻ. Kita tahu bahwasanya seorang anak diperintahkan untuk berkata-kata yang terlembut kepada kedua orang tuanya. Oleh karenanya, Allāh ﷻ berfirman,
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنۡہَرۡهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوۡلاً ڪَرِيمًا
“Janganlah engkau berkata kepada keduanya “uff” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (QS. Al-Isrā: 23)
“Uff” adalah suatu kalimat yang menunjukkan tadhojjur (kejengkelan) dan “uff” adalah kalimat yang paling rendah yang menunjukkan kejengkelan. Kalau kita artikan dalam bahasa kita mungkin bisa kita katakan “ah”, yang tidak ada kalimat yang menunjukkan kejengkelan yang lebih ringan daripada “ah”.
Kata sebagian ahli tafsir: seandainya ada kalimat dalam bahasa Arab yang lebih ringan daripada kalimat “uff”, maka Allāh akan sebutkan dalam al-Qur’an. Tetapi kalimat “uff” adalah kalimat kejengkelan yang paling ringan. Jika “ah” sudah dilarang, maka apalagi membentak mereka berdua. Oleh karenanya, kita harus menjaga perkataan kita terhadap orang tua.
Kalau kita bisa berkata-kata yang halus kepada teman kita, kepada saudara kita, apalagi kepada bos kita, maka kepada orang tua adalah lebih utama untuk berkata-kata yang halus. Jangan sampai kita mengeluarkan kata yang menunjukkan kejengkelan.
Kalau mengucapkan “Ah” kepada orang tua saja adalah perkataan yang haram, apalagi jika sampai mencaci maki atau melaknat orang tua. Oleh karenanya, ketika Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Diantara dosa besar adalah seorang laki-laki mencaci kedua orang tuanya.” Maka hal ini mengherankan para shahābat. Sehingga para sahabat kemudian bertanya, “Ya Rasūlullāh, apakah ada seseorang mencaci maki kedua orang tuanya?”
Kita ingat bahwa hadits ini terjadi di zaman Nabi ﷺ dan para sahabatnya, maka kecil kemungkinan terjadi hal yang demikian itu (ada seorang anak memaki kedua orang tuanya). Oleh karenanya para sahabat heran. Berbeda mungkin dengan di zaman sekarang. Zaman sekarang banyak kita dengar ada anak-anak yang mencaci maki, membentak-bentak, dan menghina kedua orang tuanya.
Zaman berubah, semakin jauh dari zaman Nabi ﷺ maka hati semakin keras, ilmu semakin hilang. Oleh karenanya, kita dapati dari anak-anak kaum muslimin -ini tidak berbicara tentang orang-orang kafir, kita berbicara tentang anak-anak kaum muslimin- yang ternyata mencaci maki kedua orang tuanya secara langsung.
Di zaman shahābat hal ini tidak ada, sehingga para sahabat merasa heran, kok bisa seseorang mencaci maki kedua orang tuanya?. Maka Rasūlullāh ﷺ menjelaskan bagaimana bisa terjadinya seorang anak mencaci maki orang tuanya, yaitu dia mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang lain tersebut membalas mencaci maki ayahnya. Dengan demikian, dia merupakan sebab ayahnya dicaci maki, karena dia mencaci maki ayah orang lain.
Dari sini para ulama membuat kaidah:
إِنَّ الْوَسَائِلَ لَهَا أَحْكاَمُ الْمَقَاصِدِ
“Bahwasanya washilah itu memiliki hukum tujuan.”
Kalau washilah tersebut mengantarkan kepada keburukan, maka washilah tersebut hukumnya juga buruk. Kalau washilah tersebut mengantarkan kepada keharaman maka washilah tersebut juga hukumnya haram.
Meskipun hukum asal washilah tersebut boleh, bahkan bisa jadi washilah tersebut disyari’atkan. Tetapi karena mengantarkan kepada perkara yang haram, maka jadilah washilah tersebut hukumnya haram.
Contohnya, Allāh berfirman,
وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٍۗ
“Janganlah kalian mencaci maki orang-orang yang menyeru berdo’a kepada selain Allāh, maka mereka akan mencaci maki Allāh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’ām: 108)
Kita tahu bahwasanya mencaci maki sesembahan-sesembahan selain Allāh ﷻ adalah perkara yang dituntut. Dalam Al-Qurān banyak sekali, bagaimana Nabi Ibrāhīm ‘alaihis salam mencela sesembahan-sesembahan selain Allāh, mencela patung-patung, dan mencela sesembahan-sesembahan kaum musyirikin. Allāh sendiri dalam banyak ayat mencela sesembahan-sesembahan kaum musyrikin.
Namun dalam kondisi tertentu, jika kita mencela sesembahan kaum musyrikin ternyata mereka malah mencela Allāh ﷻ, maka mencela sesembahan kaum musyrikin pada saat demikian itu hukumnya haram. Meskipun pada asalnya menjatuhkan sesembahan selain Allāh adalah disyari’atkan, akan tetapi apabila dalam suatu kondisi bisa mengantarkan kepada pencelaan terhadap Allāh ﷻ maka hukumnya dilarang.
Ini kita berbicara tentang washilah yang hukum asalnya disyari’atkan tetapi kemudian menjadi haram karena mengantarkan kepada tujuan yang haram. Maka apalagi jika ternyata washilahnya juga haram, seperti yang disebutkan dalam hadits ini.
Dalam hal ini, washilahnya adalah mencaci maki ayah orang lain. Mencaci maki ayah orang lain hukumnya adalah haram. Seseorang harus berusaha menjaga lisannya agar tidak mencaci maki ayah dan ibu orang lain. Washilah yang haram ini juga mengantarkan kepada perkara yang haram, yaitu akhirnya orang tersebut mencaci maki ayah dan ibu orang yang mula-mula mencela.
Oleh dalam hal seperti ini Rasūlullāh ﷺ mengatakan, “Sesungguhnya orang ini telah mencaci ibu dan ayahnya sendiri.” Mengapa demikian? Karena dialah penyebab orang lain mencela ayah dan ibunya. Karena “sebab mengambil hukum musabab” atau “sebab mengambil hukum akibat”.
Wallahu a’lam.